Subah, NU Batang
Maraknya pembangunan industri di Kabupaten Batang, seperti Kawasan Industri Terpadu Batang (KIT Batang) dan Batang Industrial Park (BIP) membuat Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Batang membuat forum diskusi tentang resiko krisis iklim dan kerusakan lingkungan di Batang, Sabtu (11/1) kemarin.
Diskusi yang digelar di gedung Balai Latihan Kerja Komunitas (BLKK) Saburmusi Desa Tenggulangharjo, Kecamatan Subah, Batang itu diikuti oleh organisasi mahasiswa, lembaga-lembaga NU, dan masyarakat umum. Dengan dihadiri dari perwakilan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang dan Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Jawa Tengah sebagai narasumber.
Ketua Lakpesdam, M. Aminudin mengatakan dengan diskusi yang bertajuk “Krisis Iklim dan Kerusakan Lingkungan: Sinergi Antar Pemangku Kepentingan dalam Mitigasi Dampak Pembangunan KITB dan Batang Industrial Park (BIP) yang Berkeadilan dan Berkelanjutan” ini akan jadi langkah awal dalam membangun kesadaran kolektif pada masyarakat agar lebih tanggap dalam menghadapi resiko akan krisis iklim dan kerusakan lingkungan di Kabupaten Batang yang akan terjadi.
Dalam forum ia mengungkapkan bahwa perlu adanya kolaborasi lintas sektor untuk mewujudkan pembangunan yang adil dan berkelanjutan. “Dalam mewujudkan pembangunan yang adil dan berkelanjutan kita tidak bisa berjalan sendiri-sendiri, harus berkolaborasi!” katanya.
Ia menyoroti bahwa perusahaan memiliki kekuatan besar untuk memulihkan maupun merusak lingkungan, sebab itulah perlu adanya transformasi kesadaran dan tanggung jawab sosial dari seluruh pemangku kepentingan guna meminimalkan dampak yang akan datang.
Dika dari perwakilan LBH Semarang mengatakan bahwa adanya kecenderungan pemerintah dalam memanipulasi perencanaan tata ruang wilayah demi kepentingan proyek strategis nasional. Dia menyampaikan bahwa kurangnya partisipasi masyarakat, sering kali disebabkan oleh kriminalisasi terhadap aktivis lingkungan. Dalam pembangunan KITB, pemerintah dinilai tidak memiliki master plan yang matang, sehingga dampaknya paling dirasakan oleh kelompok rentan seperti petani dan perempuan.
Selain itu dari perwakilan WALHI, Dera menjabarkan bahwa pembangunan kawasan industri di Kabupaten Batang telah memicu kerusakan ekologi yang signifikan antara lain banjir, turunnya kualitas tanah dan lain-lain yang terjadi khususnya di daerah penyangga kawasan industri.
Dera memaparkan bahwa sebagian besar wilayah Batang telah diubah menjadi kawasan tambang (Galian C), Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU Batubara), dan industri, yang mempercepat krisis iklim akibat energi kotor. Menurut Dera, wilayah Batang yang seharusnya menjadi daerah konservasi, bukan pusat pembangunan. “Batang itu harusnya menjadi wilayah konservasi, bukannya malah dijadikan pusat pembangunan dengan pendekatan neoliberal yang mengorbankan lingkungan demi investasi besar-besaran” tegasnya.
Dari hasil diskusi tersebut, Lakpesdam Batang membuat tiga rekomendasi untuk berbagai pihak supaya dapat dijalankan, guna mengantisipasi terjadinya bencana krisis iklim dimasa mendatang, rekomendasi tersebut antara lain adalah meminta pemerintah setempat untuk memperbaiki tata kelola pembangunan yang lebih matang dengan melibatkan masyarakat, mendorong pihak perusahaan untuk memulihkan lingkungan yang terkena dampak industrialisasi serta memitigasi dampak sosial dari aktivitas industri, serta mengajak masyarakat untuk berperan aktif sebagai pengawas kebijakan.
Pewarta : Lakpesdam PCNU Batang