Rabu, Desember 4, 2024
spot_img

NU yang Lupa Rantingnya

Oleh: Jabir Al Faruqi

Setiap perhelatan besar di NU (Konfercab, Konferwil, dan Muktamar) selalu membahas program-program besar yang strategis. Bahkan isu-isu nasional dan internasional selalu menjadi materi utama dalam pembahasan komisi-komisi. Sedangkan desa, berdesa, ranting, beranting, sebutan untuk pengurus NU paling bawah hampir tidak masuk pembicaraan dari waktu ke waktu, dari momen penting satu ke momen penting yang lain.

Padahal kalau mau jujur, akar rumput NU itu ada di desa (Ranting), sumber daya manusia dan sumber daya alam NU ada di ranting. Warga NU paling banyak ada di ranting, amaliyah, dan kultur NU paling banyak dianut orang desa. Pejabat, perangkat, dan aparat desa sejatinya mayoritas pengikut ritual NU.

Di saat ada program Gerakan Koin NU di bawah Lembaga Amil Zakat Infaq dan Sedekah Nahdlatul Ulama (LAZISNU), maka ranting menjadi tumpuannya. Berasal dari rantinglah berjuta-juta rupiah dana dikumpulkan.

Namun mengapa nasib ranting tidak sebaik kabupaten, wilayah, dan PBNU? Atau sebaliknya, sejauh mana kepedulian Pengurus Besar Nahdaltul Ulama (PBNU), Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU), dan Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) serta Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama (MWCNU) terhadap ranting?

Pertanyaan ini layak diajukan dengan dua asumsi dan fakta di lapangan. Pertama, apabila NU ingin maju dan kuat, maka akan bisa terwujud apabila ranting-rantingnya kuat dan berdaya. Dari ranting yang kuat akan melahirkan peningkatan ekonomi dan aset yang besar buat NU. Dari ranting yang berdaya, kenaikan koin NU akan semakin besar, dan itu artinya NU secara keseluruhan semakin besar pula.

Kedua, pemerintah Indonesia sejak lahirnya UU desa No 6 tahun 2014 secara bertahap dan pasti melakukan perubahan fundamental terhadap desa. Desa yang awalnya hanya menjadi objek pembangunan (seperti ranting NU jadi objek pengumpulan koin), kini desa menjadi berdaulat. Desa dan pemerintahan desa memiliki otoritas seperti pemerintahan Kabupaten, Provinsi, bahkan seperti presiden kecil. Desa memiliki otoritas untuk merencanakan pembangunan, penyusunan anggaran, dan menetapkan prioritas pembangunan. Dan dengan UU Desa yang ada, desa diberi dana langsung dari pemerintah pusat.

Pembangunan di desa menyertakan semua komponen masyarakat desa. Seandainya ranting-ranting NU memiliki kompetensi, skill, dan pengetahuan yang cukup, maka sangat mudah mengakses, bermitra, dan mendorong pemanfaatan dana desa untuk kepentingan warga desa yang notabene warga NU.

Namun sayang, ranting-ranting NU banyak yang tidak bertuan. Jangankan berdaya dan kompeten, pengurusnya saja masih banyak yang belum beres. Buktinya Aturan Dasar (AD) dan Aturan Rumah Tangga (ART) dalam pemilihan ketua Tanfidziyah Cabang NU tidak memiliki suara karena tidak lulus akreditasi. Demikian juga dalam pemilihan ketua Tanfidziyah NU Wilayah, Majelis Wakil Cabang (MWC) tidak memiliki hak pilih karena alasan yang sama dengan ranting.

Di sinilah menurut penulis, NU jangan lupa ranting atau bahasa tepatnya akar apabila ingin kuat dan berdaya. Tanpa mengurangi rasa hormat, kiranya perlu untuk menjadi perhatian para pemimpin NU di semua tingkatan tentang pentingnya kepedulian, pendampingan, pelatihan, dan pemberdayaan pengurus NU di tingkat ranting. Semoga bermanfaat, aamiin.

Muhammad Asrofi
Muhammad Asrofi
Manusia Biasa dari Kota Emping

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

MEDIA SOSIAL

2,100FansSuka
1,374PengikutMengikuti
128PelangganBerlangganan
- Advertisement -spot_img

Latest Articles