Tepat sepuluh tahun sudah Kiai Akhmad Zainudin berpulang ke rahmatullah. Meski jasadnya telah lama bersemayam tenang di pemakaman umum Desa Jambangan Kecamatan Bawang Kabupaten Batang, nama dan keteladanannya masih hidup di sanubari warga. Sosoknya yang bersahaja tetap menjadi cahaya yang tak kunjung padam dalam kehidupan masyarakat.
Kiai Zainudin bukanlah ulama besar dengan gelar panjang atau sorotan publik. Namun, bagi warga Jambangan, beliau adalah suluh dalam gelap, guru dalam sunyi, dan penyejuk dalam gelombang perbedaan. Ia dikenal sebagai “kiai kampung”—sebutan yang sederhana, tapi sarat makna. Di balik kesahajaannya, tersimpan keluasan ilmu, ketulusan hati, dan kedalaman akhlak.
Semasa hidupnya, Kiai Zainudin mendedikasikan waktu dan tenaga untuk membimbing masyarakat. Setiap ba’da Maghrib, suaranya memandu anak-anak mengaji Al-Qur’an menjadi pemandangan harian yang akrab di telinga warga. Ia tidak hanya mengajarkan huruf-huruf hijaiyah, tetapi juga menanamkan nilai kasih sayang, kejujuran, dan kepedulian sosial kepada para santrinya.
Usai Isya, giliran kajian kitab kuning dimulai. Dari fiqih hingga tasawuf, beliau bacakan dan jelaskan kepada siapa pun yang hadir—anak-anak hingga orang dewasa. Ilmu yang ia sampaikan bukan hanya teks, melainkan juga pancaran keikhlasan. Kajian itu menjadi hidangan rohani yang menyegarkan bagi mereka yang haus akan pengetahuan dan tuntunan.
“Beliau tidak hanya mendidik kami agar pandai membaca Al-Qur’an, tapi juga agar pandai menjadi manusia,” kenang Ustaz Saifudin, salah satu tokoh masyarakat yang dulu sering mengikuti kajian dan nasihat beliau sebelum mengambil keputusan besar dalam hidup.
Selain sebagai guru ngaji, Kiai Zainudin juga dikenal sebagai penengah dalam perselisihan, pemimpin doa dalam setiap kelahiran dan kematian, serta penggerak berbagai urusan keagamaan. Ia tak pernah meminta imbalan, tak mengejar pujian. Senyum tulus dan ucapan “Alhamdulillah” menjadi tanda kehadirannya di tengah warga.
Kini, satu dekade setelah kepergiannya, majelis yang beliau dirikan masih berdiri kokoh. Di dinding rumah yang menjadi saksi pengabdiannya, tergantung sebuah foto lama: Kiai Zainudin dengan pakaian sederhana dan senyum teduh. Setiap yang melangkah masuk hampir pasti melirik sejenak—bukan karena penasaran, melainkan karena rindu dan hormat yang dalam.
Anak-anak yang dulu mengaji padanya kini telah tumbuh dewasa. Sebagian menjadi guru, ustaz, dan tokoh masyarakat. Benih kebaikan yang ia tanam terbukti tumbuh dan mengakar, menjadi warisan hidup yang terus menebar manfaat.
Waktu boleh berlalu, tetapi keteladanan Kiai Zainudin tetap menjadi bagian dari denyut kehidupan kampung ini. Sebab dalam sunyi, suaranya masih membisikkan nasihat. Dalam gelap, cahayanya masih memandu arah.
Al-Fatihah untuk Kiai Akhmad Zainudin.
Penulis: Irfan